Daun kering itu
masih berserakan di halaman rumah sakit tapi masih dapat kulihat tersisa satu
daun yang bertahan di ranting pohon itu. Pagi itu masih berkabut. Angin menerpa
wajahku lembut, bisa ku rasasakan sensasi kesegaran di setiap belaiannya. Entah
apa yang harus ku lakukan saat ini aku benar-benar bingung. Mataku masih berat
untuk melihat dunia. Aku ingin menutup mata dan tertidur lelap tanpa lagi melihat
kenyataan pedih yang selalu memaksaku mencucurkan air mata ini lagi. Hari ini
musim gugur dan seharusnya hari ini adalah hari yang spesial untukku. Bukan duduk
berdiam diri di bangku yang rapuh di halaman rumah sakit ini.
Aku pejamkan
mata untuk menenangkan jiwaku yang rapuh dan lemah ini. Aku berharap ketika aku
membuka mata lagi, akulah yang menggantikan takdirnya. Air mataku rasanya sudah
habis untuk menangisi semua takdir yang terjadi. Pernah terlintas dipikiranku untuk mati di bawah pohon maple ini.
Agar nanti aku tak merasakan rasanya kehilangan seseorang yang sangat aku
cintai. Hembusan angin membujukku melihat ke arah langit.
“Aku ingin hanya satu daun yang
bertahan, aku mohon itulah dirinya yang bertahan,” harapku pada sang angin yang
berhembus.
Langkah kakiku tak bersemangat. Aku
tak mau memasuki kamar itu lagi, setiap kali melihatnya terbaring lemah nafasku
kerap kali tercekat dan rasa sakit itu kembali menjalar keseluruh tubuhku.
Satu tahun sudah aku jalani sebuah hubungan
dengan laki-laki yang bernama Rian . Hari ini tepat dimana hubungan kami genap
satu tahun. Seharusnya ada kue yang bertuliskan Happy 1st
Anniversary—bukan semangkuk bubur untuknya. Harusnya ada kepingan coklat
yang ia makan—bukan seonggok obat antibiotik itu. Sejenak aku ingin marah
kepada Tuhan. Mengapa semua ini terjadi? Tak sepantasnya aku dan dia berada di rumah
sakit. Tak seharusnya kami berdiam diri menunggu sang maut. Semua ini terdengar
ironis. Menyedihkan.
“Dok, kapan Rian dibolehkan pulang?”
Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar
dari mulutku. Selalu ada harapan ketika meloloskannya dari mulutku.
“Entahlah nona. Semua dokter disini
sedang berusaha membuat keadaannya membaik. Jadi bersabarlah.”
Aku pun tertunduk setelah mendengar
pernyataan dokter. Dan lagi-lagi dia membasahi pipiku, membuat genangan kecil
pada sudut mataku. Ku genggam tangan kurusnya itu dengan erat—ku bisikan
sesuatu di telingannya.
“Sayang, bukalah matamu. Aku sangat
membutuhkanmu,” ucapku lirih.
Entahlah, semua orang mungkin
menganggapku orang bodoh karena mengajak orang yang terbaring lemah ini
berbicara. Setiap garis yang mewakili detak jantungnya pun masih terlihat tak
beraturan di layar itu. Satu yang selalu kutakutkan, ketika garis tak beraturan
itu berubah menjadi sebuah garis lurus dengan deringan sangat keras bersamaan.
Angin masih bermain-main dengan daun
yang berserakan diluar sana, pandangan ku tertuju pada satu daun yang masih
bertahan di rantingnya yang bersih keras menahan goyahan angin. Rian bagaikan
daun itu yang mencoba menantang penyakit tumor otak yang kini dia derita,
matanya masih terpejam tanpa sedikit pun adanya tanda pergerakan darinya. Aku
mengeratkan pegangan tanganku pada Rian.
“Rian, bangunlah dan lihat aku—aku
di sini di sampingmu. I really miss you.”
Sudah tak bisa kutahan, cucuran air
mata kembali membasahi pipiku— menampakan sisi rapuhku. Dengan kasar aku
menghapus jejak kesedihanku itu. Tak lama setelah itu aku merasakan tangan Rian
yang hangat menggenggam tanganku erat.
“Rian ? Dok—” teriakanku terpotong
oleh suara lirih Rian.
“Tolong jangan panggil dokter. Aku
mohon padamu Rin” lirihnya sambil tersenyum—penuh luka.
“Tapi sayang?”
Aku bersih keras ingin memanggil
dokter. Aku ingin memastikan keadaan Rian sudah membaik atau tid—tidak.
Tapi rintihanya menghalangi niatku. Aku sangat tak bisa mengabaikanya.
“Sayang.”
”Ya, ada apa oppa?”
Aku mencoba sebisa mungkin untuk
tidak terlihat lemah, namun usahaku yang satu itu selalu saja gagal karena Rian
selalu menemukan sisi rapuhku berada. Tanpa seizinku lagi air mata itu turun
lagi—aku sangat membencinya sungguh.
“Sayang, jangan menangis. Berikan
senyum terbaikmu padaku. Aku merindukannya. Dan oh, Happy Anniversary Ririn. Maaf
aku hanya bisa terbaring lemah disini” tersenyum lemas
Hatiku mencelos saat itu juga. Itu
terlalu sulit sekarang. Mungkin dulu aku mampu melakukannya tapi sekarang
sungguh berbeda. Maaf Rian aku tak bisa.
Perlahan tangannya menggapai
tanganku. Jari-jari tangannya menelusup di sela-sela jari-jariku. Membuatku
sedikit terperanjat dan menatapnya nanar.
”Rian?”
“Duduklah. Aku ingin mengatakan
sesuatu padamu.”
“Tentang apa?”
“Mendekatlah. Aku hanya akan
mengatakannya satu kali.”
Dengan sedikit
ragu kukedekatkan wajahku padanya. Sudah ku katakan sebelumnya aku paling tak
bisa untuk mengabaikannya.
“Aku mencintaimu dengan sepenuh
hatiku. Tak ada yang lain selain Ririn yang aku cintai. Detik ini pun cintaku
hanya untukmu dan sampai nafas ini berhenti kau harus tau cintaku hanya
untukmu.”
“Aku mengerti.”
“Jadi bisakah sekarang kau berikan
senyummu?”
Ku tarik sedikit bibirku untuk
memberikan senyuman yang dia mau. Aku tak yakin akan terlihat baik, tapi
setidaknya aku sudah mencobanya.
“Aku senang. Terimakasih.”
Tak lama setelah itu nafasnya
berubah menjadi memburu, tak beraturan. Jelas saja aku panik. Lagi-lagi
tangannya menghalangiku untuk mencari dokter.
“Jangan pergi. Disini saja,”sahutnya
lirih.
Apakah sang malaikat pencabut nyawa
sedang mencoba mengambil nyawa kekasihku ini? Tuhan, aku benar-benar tak kuasa
melihatnya sulit bernafas seperti ini. Apa yang harus ku lakukan untuk
menolongnya? Spontan aku memeluknya erat dan membisikan ini, “Rian, aku rela
kau pergi. Hembuskan nafas dalam satu tarikan. Aku mohon.”
Dia melakukannya dan suara nyaring
itu terdengar jelas di telingaku, memekakan seluruh inderaku—terutama jiwaku.
“Kau melakukanya dengan baik,”
ucapku seraya memeluknya erat.
~***~
Picture by : Syifa Refianti (@revina_shiro)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar