Rabu, 23 Oktober 2013

Daun Terakhir

Daun kering itu masih berserakan di halaman rumah sakit tapi masih dapat kulihat tersisa satu daun yang bertahan di ranting pohon itu. Pagi itu masih berkabut. Angin menerpa wajahku lembut, bisa ku rasasakan sensasi kesegaran di setiap belaiannya. Entah apa yang harus ku lakukan saat ini aku benar-benar bingung. Mataku masih berat untuk melihat dunia. Aku ingin menutup mata dan tertidur lelap tanpa lagi melihat kenyataan pedih yang selalu memaksaku mencucurkan air mata ini lagi. Hari ini musim gugur dan seharusnya hari ini adalah hari yang spesial untukku. Bukan duduk berdiam diri di bangku yang rapuh di halaman rumah sakit ini.
Aku pejamkan mata untuk menenangkan jiwaku yang rapuh dan lemah ini. Aku berharap ketika aku membuka mata lagi, akulah yang menggantikan takdirnya. Air mataku rasanya sudah habis untuk menangisi semua takdir yang terjadi. Pernah terlintas dipikiranku  untuk mati di bawah pohon maple ini. Agar nanti aku tak merasakan rasanya kehilangan seseorang yang sangat aku cintai. Hembusan angin membujukku melihat ke arah langit.
“Aku ingin hanya satu daun yang bertahan, aku mohon itulah dirinya yang bertahan,” harapku pada sang angin yang berhembus.
Langkah kakiku tak bersemangat. Aku tak mau memasuki kamar itu lagi, setiap kali melihatnya terbaring lemah nafasku kerap kali tercekat dan rasa sakit itu kembali menjalar keseluruh tubuhku.
Satu tahun sudah aku jalani sebuah hubungan dengan laki-laki yang bernama Rian . Hari ini tepat dimana hubungan kami genap satu tahun. Seharusnya ada kue yang bertuliskan Happy 1st Anniversary—bukan semangkuk bubur untuknya. Harusnya ada kepingan coklat yang ia makan—bukan seonggok obat antibiotik itu. Sejenak aku ingin marah kepada Tuhan. Mengapa semua ini terjadi? Tak sepantasnya aku dan dia berada di rumah sakit. Tak seharusnya kami berdiam diri menunggu sang maut. Semua ini terdengar ironis. Menyedihkan.
“Dok, kapan  Rian dibolehkan pulang?”
Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku. Selalu ada harapan ketika meloloskannya dari mulutku.
“Entahlah nona. Semua dokter disini sedang berusaha membuat keadaannya membaik. Jadi bersabarlah.”
Aku pun tertunduk setelah mendengar pernyataan dokter. Dan lagi-lagi dia membasahi pipiku, membuat genangan kecil pada sudut mataku. Ku genggam tangan kurusnya itu dengan erat—ku bisikan sesuatu di telingannya.
“Sayang, bukalah matamu. Aku sangat membutuhkanmu,” ucapku lirih.
Entahlah, semua orang mungkin menganggapku orang bodoh karena mengajak orang yang terbaring lemah ini berbicara. Setiap garis yang mewakili detak jantungnya pun masih terlihat tak beraturan di layar itu. Satu yang selalu kutakutkan, ketika garis tak beraturan itu berubah menjadi sebuah garis lurus dengan deringan sangat keras bersamaan.
Angin masih bermain-main dengan daun yang berserakan diluar sana, pandangan ku tertuju pada satu daun yang masih bertahan di rantingnya yang bersih keras menahan goyahan angin. Rian bagaikan daun itu yang mencoba menantang penyakit tumor otak yang kini dia derita, matanya masih terpejam tanpa sedikit pun adanya tanda pergerakan darinya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Rian.
“Rian, bangunlah dan lihat aku—aku di sini di sampingmu. I really miss you.”
Sudah tak bisa kutahan, cucuran air mata kembali membasahi pipiku— menampakan sisi rapuhku­. Dengan kasar aku menghapus jejak kesedihanku itu. Tak lama setelah itu aku merasakan tangan Rian yang hangat menggenggam tanganku erat.  
“Rian ? Dok—” teriakanku terpotong oleh suara lirih Rian.
“Tolong jangan panggil dokter. Aku mohon padamu Rin” lirihnya sambil tersenyum—penuh luka.
“Tapi sayang?”
Aku bersih keras ingin memanggil dokter. Aku ingin memastikan keadaan Rian sudah membaik atau tid—tidak. Tapi rintihanya menghalangi niatku. Aku sangat tak bisa mengabaikanya.
“Sayang.”
”Ya, ada apa oppa?”
Aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlihat lemah, namun usahaku yang satu itu selalu saja gagal karena Rian selalu menemukan sisi rapuhku berada. Tanpa seizinku lagi air mata itu turun lagi—aku sangat membencinya sungguh.
“Sayang, jangan menangis. Berikan senyum terbaikmu padaku. Aku merindukannya. Dan oh, Happy Anniversary Ririn. Maaf aku hanya bisa terbaring lemah disini” tersenyum lemas
Hatiku mencelos saat itu juga. Itu terlalu sulit sekarang. Mungkin dulu aku mampu melakukannya tapi sekarang sungguh berbeda. Maaf Rian aku tak bisa.
Perlahan tangannya menggapai tanganku. Jari-jari tangannya menelusup di sela-sela jari-jariku. Membuatku sedikit terperanjat dan menatapnya nanar.
”Rian?”
“Duduklah. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Tentang apa?”
“Mendekatlah. Aku hanya akan mengatakannya satu kali.”
Dengan sedikit ragu kukedekatkan wajahku padanya. Sudah ku katakan sebelumnya aku paling tak bisa untuk mengabaikannya.
“Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tak ada yang lain selain Ririn yang aku cintai. Detik ini pun cintaku hanya untukmu dan sampai nafas ini berhenti kau harus tau cintaku hanya untukmu.”
“Aku mengerti.”
“Jadi bisakah sekarang kau berikan senyummu?”
Ku tarik sedikit bibirku untuk memberikan senyuman yang dia mau. Aku tak yakin akan terlihat baik, tapi setidaknya aku sudah mencobanya.
“Aku senang. Terimakasih.”
Tak lama setelah itu nafasnya berubah menjadi memburu, tak beraturan. Jelas saja aku panik. Lagi-lagi tangannya menghalangiku untuk mencari dokter.
“Jangan pergi. Disini saja,”sahutnya lirih.
Apakah sang malaikat pencabut nyawa sedang mencoba mengambil nyawa kekasihku ini? Tuhan, aku benar-benar tak kuasa melihatnya sulit bernafas seperti ini. Apa yang harus ku lakukan untuk menolongnya? Spontan aku memeluknya erat dan membisikan ini, “Rian, aku rela kau pergi. Hembuskan nafas dalam satu tarikan. Aku mohon.”
Dia melakukannya dan suara nyaring itu terdengar jelas di telingaku, memekakan seluruh inderaku—terutama jiwaku.
“Kau melakukanya dengan baik,” ucapku seraya memeluknya erat.

~***~  
                                                                                           Picture by : Syifa Refianti (@revina_shiro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar