Namaku Mutia Aryana Fadilah dan panggil saja aku Tia atau sesukamu ya. Perempuan yang
lahir di kota kecil dengan suasana sedikit jadul. Dimana surat menyurat masih
dilakukan. Yaitu kota Ciamis, yang berada di daerah jawa barat. Aku akan
menceritakan tentang keistimewaan surat , yang awalnya aku muak dengan surat.
Ini dia :
Ayahku
sering kali mendapati surat dari berbagai kantor, ya karena ayahku bekerja di
sebuah kantor juga yang mengurusi jual beli kain batik sejak tahun itu.
Berbagai tawaran kerja sama atau surat pemberitahuan bahwa hasil penjualan ke
luar kota mencapai target perkapita atau yang lainnya. Tugasku disini,
seringkali menerima surat dari sang pengantar surat, aku sudah mulai bosan
dengan kebiasaan ini. Karena apa, aku harus bertemu dengan berbagai macam
tukang pos yang aneh dan menandatangani kertas penerimaan surat. Dulu, aku
sangat senang jika tukang pos datang. Karena seperti hal layak artis. Tandatangan di kertas dan di minta. Tapi
itu tidak dirasakan lagi ketika tukang Pos langganan ke rumahku berubah menjadi
aneh.
Ya
berbeda dengan sekarang. Padahal , telepon rumah sudah ada sejak itu. Kenapa
mereka masih memilih memberitahu dengan surat? Jawabannya adalah ' supaya rinci
dan jelas juga resmi' kata ayahku ketika aku mengeluh tentang tukang pos.
Kalian
pasti bertanya tentang ibuku bukan? Ibuku seorang ibu rumah tangga, kadang dia
berjualan kue kering untuk mengisi waktu luangnya. Aku sering membantunya untuk
membuat kue keringnya, aku juga suka membawanya ke sekolah untuk di simpan di warung.
Ngomong-ngomong,
aku sudah kelas 2 SMA sejak itu, sekolah yang tidak terlalu mewah namun pada
tahun terlihat lebih mewah dengan gaya klasikal jaman belanda. Aku duduk di
kelas 2 Biologi 3 .
***
Ani
temanku sudah ada di depan rumahku, kami akan berangkat sekolah bersama dengan
sepeda ontel yang sejak tahun itu salah satu transportasi tercepat. "Bu,
aku berangkat ya. Kue nya sudah aku bawa dalam wadah" , seru ku kepada
ibuku yang masih didapur. "Tia,
tunggu dulu!" Seru ayahku dari ruang tamu, aku pun kembali turun dari
sepedaku, " ini, tolong antarkan surat ke pos ya", dengan wajah
datarku aku menerima suruhan ayahku. "Ada apa Tia?" Tanya Ani, "ini, antar
aku dulu ya ke pos di jalan Jendral
Sudirman". Ani
pun menganggukan kepalanya.
Jalan
jendral sudirman ini jalan pusat kota Ciamis, dimana terletak sebuah alun-alun
kota yang sering ramai dikunjungi orang-orang apalagi remaja sepertiku. Cukup
lama untuk menuju jalan jendral sudirman, jadi aku kayuh pedal ku cukup cepat.
15 menit sampailah aku di tempat pos, untung saja disana ada pamanku yang
bekerja di kantor pos, dia mengurusi administrasi surat-surat. "Mang, ieu aya serat ti bapa, abi teu tiasa
lami. Nuhun mang" (Om, ini ada surat dari bapak, saya tidak bisa lama.
Terima kasih om) (Mang ; Om , panggilan untuk adik dari ayah atau ibu), ucapku
dalam bahasa sunda, ya karena kota ku berbahasa sunda, tapi karena ibuku keturunan betawi alias jakarta, aku jadi suka berbahasa
indonesia , sunda menjadi pilihan kedua untuk berkomunikasi karena aku sedikit tidak mengerti.
Pamanku hanya mengancungkan jempol, aku pun berpamitan.
***
"Pagi
Tia"
ucap seseorang dari belakangku ketika aku menyimpan sepedaku di halaman
belakang sekolah, aku pun menoleh. "Pagi" jawabku. Ternyata itu
Andan, ketua osis yang katanya beribawa, namun nyatanya sikapnya menurutku
seperti laki-laki geng motor yang selewengan terhadap wanita. Gayanya memang
rapih, gaya rambut di cepak rapih dengan tatanan minyak rambutnya, jadi warna
rambutnya mengkilap bersinar. Baju seragam yang rapih, bersabuk juga berdasi
bak pegawai-pegawai besar. Tak lupa sepatu nya pantopel hitam berhak sedikit
tinggi untuk menimbulkan suara gagah ketika berjalan di tehel sekolah. Aku
tidak suka; Karena sifatnya. Maka
dari itu aku hanya menjawab secukupnya. "Tumben agak siang ka
sakolana?" (ka sakolana ; ke sekolahnya), "Habis ke Pos dulu"
jawabku sambil mengambil tasku yang ada di keranjang sepeda dan kotak kue
ibuku. "Oh untuk siapa Tia?",
tidak lama aku akan menjawab,Ani membantu untungnya untuk menghindar dari
Andan. "Hus siah kaditu. Isuk-suk geus gateul!" (Hus kamu kesana.
Pagi-pagi udah ganjen). Ani menyingkirkan badan Andan dan kami pun pergi. Ani
dan aku menuju warung Bi Inah
dahulu untuk menyimpan kue ibuku, "Bi nitip ya. Nanti pulang sekolah aku
bawa" kataku. "Uhun neng" (Iya Neng) ucapnya. Kami kembali ke kelas.
***
Ketika
aku memasuki kelas, semua orang memandangku dengan tatapan aneh, mereka sedikit
tertawa. Ketika aku lihat dibangku mejaku, terlihat setumpuk surat dengan
berbagai macam warna. Sudah kuduga, pagi ini akan seperti ini. Surat dari Andan
yang isinya gombalan murahan yang rasanya ingin aku bakar dengan orangnya
hidup-hidup. Ketika semua orang tertawa, aku menoleh kebelakangku. Andan tepat
di belakangku sambil tersipu malu bak anak kecil pipis di celana. Aku hanya
memasang wajah kesal sekesal kesalnya dan berkata , "Bereskan!".
"Tapi
itu untukmu Tia,
kamu harus baca itu he he" ucapnya santai dan berseri-seri.
"Daripada
aku bakar? Bereskan!"
"Baik
Tia"
dengan wajah tetunduk lalu membawa setumpuk surat itu. Paling isinya seperti
'Hai Tia.
Kamu cantik. Kamu seperti bintang di langit. Selalu bercahaya.' , aku pernah
membalasnya dengan spontan, "Jika ingin bercahaya, beli lah lampu sana di
warung bi kokom".
Bukan
satu atau dua kali perbuatan Andan, dia bisa melakukan itu setiap hari karena dia satu kelas denganku. Aku
bukan tidak menghargainya, tapi aku sudah berkata berkali-kali untuk hentikan kebiasaannya namun terus dia
lakukan. Ya kalian pasti tahu apa maksud dia, mencari perhatianku. Takkan
pernah tercuri perhatianku, aku bukan orang yang sedikit tergoda oleh
gombalan-gombalan murahan. Aku itu pilih-pilih orangnya. Sering risih karena
sikap dia, ya dia datang kerumah untuk membantu ibu atau membeli kue dengan
alasan ingin bertemu denganku, aku tak bisa menolak nya karena aku menghargai
dia juga menguntungkan bagi ibuku.
***
Setelah
mata pelajaran usai, aku segera ke Warung bi Inah untuk mengambil kotak kue ibuku dan hasil
penjualannya. "Bi, aku akan mengambil hasil penjualan kue ibuku. Apakah
habis hari ini?" Tanyaku sambil duduk di bangku kayu warung nya,
"Habis neng, ludes semuanya, sebentar ya bibi ambilkan kotak nya dan
uangnya". Tak heran jika
jajanan di warung Bi inah habis, karena jajanan nya enak dan juga Bi Inah
orangnya ramah. Aku menunggunya sambil melihat-melihat
keadaan kota ku yang semakin
hari semakin sejuk, burung berkicauan dan angin yang selalu datang setiap
detiknya. Mata ku terseret kearah
kanan ku, aku melihat seseorang yang mengintip dari balik pohon beringin, aku
tak menghiraukannya. Ketika aku lengah, dia sudah ada duduk di bangku yang
lainnya. Aku tercengang kaget dan mengekspresikan muka yang kaget. Dia
tersenyum padaku. Aku juga hanya tersenyum-sedikit.
"Neng,
ini kotak kue nya dan ini uangnya. Salam untuk ibu neng ya"
"Terima
kasih,Bi. iya aku akan sampaikan"
"Hati-hati
dijalan ya neng, sebentar lagi hujan"
Iya.
Benar kata Bi inah , aku
harus cepat-cepat mengayuh sepedaku, karena aku mencium bau aroma angin dan air
yang menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Dimana langit sedang
merindu bumi. O iya, laki-laki itu masih tetap diam disitu sambil melihatku
pergi.
***
Benarkan,
hujan seperti dugaan Bi Inah juga
feeling ku tadi. Aku hampir basah kuyup, mengapa hampir?
Harusnya aku sudah basah kuyup. Karena ada payung yang memayungiku. Oh bukan
aku yang bawa payung, tapi laki-laki yang duduk di warung Bi Inah itu. Dia
menemukan aku di perempatan jalan , rantai sepedaku lepas setelah beberapa
menit aku kayuh cepat dari sekolah, lalu aku berjalan sendirian menuntun sepeda
dengan hembusan angin yang tak tenang seperti mencari tempat untuk berlindung
karena akan ada
turun hujan. Petir sudah siap bergema di telinga, sesekali aku menutup
telingaku. Ketika aku sedang memikiran bahwa sebentar lagi akan turun hujan,
benarlah ; tetesan itu membasahi punggung tanganku dan aku spontan langsung
mengadah ke atas, aku berjalan semakin cepat. Orang-orang yang berlarian juga
banyak, tapi kebanyakan mereka menggunakan payung atau jas hujan. Aku? Iya aku
berjalan dengan sepedaku yang rantai nya lepas.
Aku
menepi di perempatan jalan, karena ada stasiun telepon umum, aku diam disana
untuk menunggu hujan reda. Selang 5 menit berlalu, aku melihat laki-laki
membawa payung warna merah dengan campuran warna kuning emas menghampiriku dari
sebrang jalan. Laki-laki di
warung Bi inah.
"Mutia, ayo pulang bareng?" Ajak dia
"Tidak, aku disini saja, sepedaku nanti hilang jika di tinggal" tolak ku
"Sudah,
tidak apa-apa. Aku titipkan sepedamu dulu, lalu kamu pulang sama aku ya? "
Aku
berdiam sejenak untuk berpikir, milih ikut atau tinggal disini dengan sepeda
dan basah kuyup.
"Dingin
Tia"
ucap dia sambil berbisik. Memang dingin sekali, aku merasakan dan melihat
gelagat mulut dia berbicara, gemetar.
"Baiklah
aku ikut, tapi sepedaku kamu yang tanggung jawab ya kalau hilang"
"Tidak
akan hilang Mutia"
Dia
menuntun sepedaku ke toko yang berada di dekat perempatan. Kenapa aku tidak
berpikiran seperti dia? Aku menitipkan sepedaku lalu aku pinjam payung dan
pulang? Sudahlah.
"Hayu
Mutia,
aku punya payung satu. Berdua saja
ya" ucap nya lagi dengan lembut
"
Iya, tak apa" jawabku singkat.
Di
tengah perjalanan banyak pertanyaan tentang laki-laki ini. Dia tau namaku? Aku
saja tidak tahu nama dia. Aku tak mau menanyakannya, aku takut dia kegeeran
lagi. Aku takut dia bukan orang baik, rambutnya saja gondrong begitu —
seperti memakai helm atau topi berbentuk jamur tapi itu potongan rambut.
Bajunya tidaklah
rapi, dan dia juga pakai aksesoris seperti gelang dan kalung laki-laki yang
biasa di pakai anak-anak geng.
Tapi dia sekarang sedang memayungi ku tanpa tatapan jahat sedikitpun.
“Kamu
Mutia
ya?” Tanya dia
“Eh?kamu tahu dari mana?” jawabku datar, aku menoleh sebentar dan pandanganku kembali lurus. Bukan kah tadi dia sudah menyebut namaku?
“Kamu
kan terkenal di sekolah, masa gak tahu?”
“Terkenal?
Aku tidak tahu itu”
“Anak-anak
kelas 2 sosial juga semuanya tahu tentang kamu”
Apa? Anak sosial? Padahal itu jauh
dari kelas biologi. Berarti dia anak sosial ya. Aku terkenal? Oleh apa? Ayahku
tidak bekerja yang mewah, ibuku? Kue nya hanya dimakan saja di warung tanpa
wawancara yang lebih.
“Kok
diam?” pertanyaan dia menyadarkanku dari lamunan
“Aku
terkenal? Oleh apa?” tanya ku sembari memindahkan tasku yang kena hujan di
belakang
“Karena
kamu cantik Mutia"
“Tidak
Mungkin” jawabku jadi
salang tingkah.
Akhirnya aku sampai di ujung jalan,
rumahku tinggal beberapa langkah lagi. aku memilih sampai situ saja. “Sudah
disini saja, hujan sudah tidak deras” ucapku. “Hati-hati Tia”, aku tak menghiraukannya. Aku
berjalan saja
menuju rumahku yang terletak di
jalan Hj. Jumhuri. Masih di termasuk Jendral sudirman.
Tadi sore aku langsung mandi, udara dingin
mengalahkan rasa malasku untuk mandi. Setelah itu, aku
langsung tidur selonjoran karena kaki ku terasa pegal setelah berjalan lama dan berdiri lama karena kebodohanku sendiri,
belum juga hatiku yang kesal atas sepedaku yang rantainya lepas. Apa? Sepeda?
Sepedaku?!
Aku lupa! Ah bagaimana ini, mungkin sudah hilang atau dicuri. Ini sudah larut
lagi, kenapa bisa sampai lupa? Besok pasti di tanya oleh ibu dan ayah. Bilang
saja di bengkel. Beres.
Tapi pikiran soal laki-laki itu
belum terpecahkan, siapa dia. Mungkin aku takkan mencari tahu tentangnya. Dia
hanya laki-laki gombal, sama dengan Andan. Seperti nya besok aku harus jalan
kaki untuk ke sekolah atau minta bareng sama Ani dengan naik sepeda. Aku harus
menelponnya. Aku menekan tombol telepon , aku pijit nomor rumah Ani.
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam,
bade kasaha?” (Mau kesiapa?)
“Ani
nya ada?”
“Sebentar,
dengan siapa ini?”
“Tia, temannya Ani Om”
Sepertinya
yang mengangkat telepon nya adalah Ayah ani.
“Halo, ada apa Tia?”
“Besok
aku ikut denganmu ya, kamu bawa sepeda”
“Sepedamu
kemana?” tanya Ani dengan intonasi kaget
“Besok
aku ceritakan ya”.
Setelah aku selesai menelpon, bel
rumahku berbunyi karena di pijit oleh seseorang. Aku bergegas menuju pintu
depan. Ketika aku buka, itu Mang Ujang yang sedang jaga Ronda sepertinya, karena lengkap
dengan sarung yang di selendangkan juga topi kupluknya. “Ada apa mang
malem-malem?” , lalu dia menoleh dan tersenyum-senyum seperti kagum, “Ini neng,
ada titipan surat. Seperti nya penting, katanya... jika tidak sampai ke neng Tia dia bisa dimakan sama monster”
katanya sambil menyodorkan surat yang beramplop itu. “Dari siapa Mang?” tanyaku
dan mengernyitkan dahiku. “Tidak tau mamang juga, mamang pergi dulu ya neng”
lalu dia pergi begitu saja. Aku terus menatap surat itu, biasanya surat hanya
untuk ayah, ini ada untukku? Tapi mengapa lewat Mang ujang? Dan selarut ini.
Aku langsung menuju kamarku, aku
membuka surat itu. Suratnya sebegitu penting ya harus di rapat seperti ini? Apa
ini Andan? Tapi ini surat nya berbeda dengan yang biasa Andan buat. Bukan nya aku memperhatikan surat dari Andan, tapi
sudah terlalu sering aku melihatnya. Aku membuka surat itu ;
"Dari
penanggung jawab sepeda Tia
Untuk
yang mempunyai sepeda.
Sepedamu sudah aku perbaiki tadi sore,
maaf aku lancang memegang sepedamu dan memperbaikinya. Tapi setidaknya kamu
bisa membawanya lagi besok ke sekolah, kamu tidak usah berjalan kaki. Nanti
capek. Aku sudah simpan sepedamu di belakang rumahmu lengkap aku gembok, tadinya aku mau
selendupkan kedalam gerasi mu, tapi tadi sepertinya ada ayahmu.
“ penanggung jawab sepedaku?”
pertanyaan itu langsung tertuju pada laki-laki yang tadi sore mengantarku
pulang. Apa benar dia yang
mengantarkan sepedaku? Kalau iya dia baik sekali. Mungkin aku harus bertemu dia
besok. Tidak dengan sengaja tentunya. Oiya, ngomong-ngomong tulisan dia rapi
dan bagus sekali.
***
Ibuku
sudah memanggilku pagi ini, padahal baru pukul setengah 6, katanya sepedaku menghalangi pintu
keluar dapur. Aku langsung menuju halaman belakang rumah. Benar, sepedaku sudah
terparkir rapih disini lengkap dengan gembok nya. “Kenapa kamu simpan sepedamu
disini tidak di gerasi?” tanya ibuku dengan nada sedikit kesal. “sudah, sudah.
Sudah aku pindahkan sekarang bu. Silahkan gunakan pintunya” ucapku karena tidak mau memperpanjang pembicaraan
tentang sepeda. Yang di katakan dalam surat itu benar, sepedaku sudah
ada di belakang rumah. Aku kira dia akan mencurinya atau malah lupa dengan
janjinya. Tapi dia itu benar
laki-laki itu? Sudahlah nanti juga tahu. Aku melirik jam yang
terpasang di ruang tengah, pukul 6 pagi. Aku harus sudah siap-siap untuk
berangkat ke sekolah.
Ketika aku sedang membereskan kotak
kue ibuku, Ani sudah memanggil di depan. Aku segera menghampirinya. Ani
terlihat bingung keanehan pagi ini, bukan melihat ku tapi dia melihat sepedaku
yang ada dan utuh di depan rumahku, mungkin dia ingat perkataan semalam di
telepon. “kau bilang sepedamu...?” kata Ani sambil menunjuk sepedaku
“Sudah
di kembalikan oleh penanggung jawabnya” jelasku. Lalu kami berangkat seperti
biasa. Ani masih terlihat
bingung.
***
Sebentar lagi aku sampai, namun
sebelum aku sampai di jalan sekolahku aku memilih tidak menaiki sepedaku, aku
berjalan menuntun sepedaku. Ya karena ada alasan untuk ini. “Tia, udah mau telat tapi masih saja kamu
pengen jalan” seru Ani
dengan nada kesal, “Sudah, duluan aja sana” suruhku. Aku
berjalan sendirian tanpa Ani,
di belokan aku melihat laki-laki itu lagi, itu dia alasanku turun dari
sepedaku. Benar saja, dia menghampiriku. “Sudah baik sepedanya, tapi kenapa
tidak kamu tumpangi Tia?”
ucap dia dan menyamakan jalan nya
denganku. “lain kali jangan simpan sepedanya dekat pintu atau belakang rumah ya. Menghalangi jalan ibuku”
“baiklah,
lain kali akan aku pakai bersamamu ya?”
“eh?”
“sudah
ya, aku duluan. Dadah Tiaaa!”
dia melambaikan tangannya padaku, dia duluan karena temannya sudah memanggilnya
dari arah gerbang. Tak ku sadar, aku tersenyum.
Siapalah dia itu, mau-mau nya saja
dia perbaiki sepedaku, bahkan dia ingat betul jalan rumahku. Dan menulis surat
untuk memberitahuku. Padahal kenapa dia tak kerumahku saja saat dia menyimpan sepedaku?
Tapi itu surat pertama yang aku simpan baik-baik didalam laciku.
Siang saat istirahat, aku langsung diajak Ani untuk ke
Warung Bi Inah. Begitu dengan Andan yang ikut serta tanpa di undang. Sebenarnya
aku tidak mau ikut, lebih baik aku diam dikelas sambil membaca buku-buku. Tapi
perutku lapar sekali siang itu dan teringat tentang laki-laki itu yang sampai
sekarang tidak tahu namanya.
Ketika aku sampai di warung Bi inah, aku melihat ke
sekeliling nya, apa ada laki-laki itu? Ternyata nihil, dia tak ada disini. Tapi
kenapa yang datang malah Cacan yang membawa surat ditangan kanannya dan menuju
ke arah ku.
"Neng Tia, ieu aya surat. Dibaca nya. Katanya
kalau tidak di baca, nanti di makan Pak Sarip" kata cacan dengan logat
sunda nya. Pak cacan itu guru BP kami yang terkesan galak kepada setiap siswa.
Tapi kata-kata semalam yang dikatakan oleh mang Ujang pun seperti itu, kemarin
malam sih monster katanya sekarang pak Sarip. Apa sebaiknya aku buka sekarang
suratnya? Tapi pertanyaanku masih tetap yang tadi, dia dimana?
Aku buka suratnya di bawah meja saat Andan dan Ani
lengah karena fokus dengan jajanan mereka, sekarang suratnya tanpa di rapat
jadi tidak sulit.
Dari laki-laki yang
meninggalkanmu tadi pagi menuju gerbang.
Aku
tebak ya? Kamu pasti penasaran dengan nama ku kan? Nanti kamu juga tahu Mutia
Aku selesai membacanya, dan
berpikir bahwa cukup aku tak akan mencari tahu tentangnya. Apalah dia itu
meramal seperti itu. Sok tau.
Aku diajak Ani pergi, syukurlah aku bisa terbebas dari
Andan, dari tadi dia memandangku tak henti. Aku risih. Ani mengajak ku ke
perpustakaan, dia ingin meminjam beberapa buku fiksi untuk dibaca nya dirumah
nanti. Ani memang menyukai sekali buku fiksi, dia bisa rampung 1 hari 1 atau 2
buku. Andan tidak bisa ikut karena Ani menolak penuh, mungkin Ani juga risih
sama denganku. "Cicing didieu Dan, ulah ngingilu wae" Ucap Ani (Diam
disini Dan, jangan ikut) Andan hanya bisa menundukan kepala nya.
Perpustakaan pada jam itu masih sepi, ya seperti biasa
penuh nya ketika guru bahasa indonesia menyuruh kami datang ke perpustakaan,
Ani mencari buku yang dia inginkan, aku mencari-mencari buku yang lain yang
sebenarnya aku tidak tahu akan mencari buku apa, aku pura-pura sibuk saja.
Sesekali aku buka buku biologi, lalu sastra, atau kumpulan - kumpulan sajak WS
Rendra. Oiya, perpustakaan sekolah kami memang tidak luas, dan buku-buku disini
pun masih terbatas, kertasnya lusuh dan warna nya masih kuning yang bertuliskan
oleh tinta hitam oleh mesin tik, tidak seperti sekarang , buku-buku tercetak
rapi dengan sampul halus tanpa cacat.
Ketika aku pindah ke rak buku
yang dekat jendela, aku lihat di kelas 2 sosial 3, ada 2 orang laki-laki yang
kelihatannya sedang di hukum pak Sarip, kaki kiri mereka di angkat satu, kedua
tangan nya memegang telinga mereka dengan menyilang, aku lihat betul-betul dan
menyipitkan mataku berusaha supaya terlihat jelas siapa, ternyata dia —
laki-laki berambut gondrong. Si reparasi sepedaku. Ani menepuk pundakku
karena melihat aku melamun, "Aya naon Tia?" (Ada apa Tia?)"
"Eh? Itu Ani, mereka siapa ya? Anak sosial
kan?"
"Ahhh sieta deui wae" (aahh dia lagi)
"Kenapa?"
"Mereka itu Si Dian terus temennya si Jodi,
mereka berdua sering iseng, yang iseng banget sih si Dian" jelas Ani
"Dian? Yang mana yang namanya Dian?"
"Yang rambutnya kayak jamur"
Ah, namanya Dian. Sebentar, aku ingat surat dari Cacan
tadi, benar saja aku tahu namanya sekarang.
"Eh Ani, kamu tahu Dian itu siapa? Maksudnya dia
itu bagaimana orangnya?"
"Dian itu anak Sosial 3, dia itu.."
Kata-kata Ani terpotong oleh petugas perpustakaan
"Neng ulah gandeng, sok diluar" seru Pak
Karim (Neng jangan berisik, silahkan diluar)
Jadi kami segera ke luar dan tak lupa Ani mengecap
buku nya dulu sebagai tanda di pinjam selama 3 hari.
"Lanjutkan Ani?"
"Oh iya. Dian itu katanya anak yang bandel,
iseng, jail dan segalanya. Lihat saja penampilannya. Anak geng atau apalah dia itu.
Sering nongkrong di Warung Bi Emah yang berada di ujung sekali, tak ada yang
berani jajan kesana selain mereka"
"Oh begitu"
"Sudah, hayu Tia nanti telat masuk"
***
Aku langsung menuju parkiran
sepeda, karena aku ingat ayahku meminta untuk aku ke pos nanti sore, sebenarnya
aku malas berurusan dengan surat. Awalnya bukan suratnya yang aku benci, tapi
tukang pos yang sikapnya genit, aku tak menyukainya, maka dari itu jika ada
surat datang si tukang pos pasti ada, aku tidak mau bertemu mereka.
Ketika aku akan memasukan kotak kue ibuku yang tadi
aku ambil dari warung Bi Inah, ada sepucuk surat yang tersimpan di keranjang
sepedaku, baru saja aku menggerutu tentang surat, ada didepanku sekarang. Dari
siapa ini, pasti Andan lagi. Tapi, amplopnya tidak berwarna. Aku baca.
Dari laki-laki yang tadi kamu lihat sedang dihukum. Jangan berpikiran
buruk tentang ku ya. Ngomong-ngomong
kamu sudah tahu nama ku ya? Namaku Dian. Hati-hati dijalan Tia.
Aku tersenyum tanpa sadar. Apa?
aku tersenyum karena surat?! Aku terhipnotis dengan surat. Aku langsung
menyimpan nya di tas ku. Apa? Tidak dibuang? Dirumah juga ada satu, sekarang
tambah menjadi 2 surat ku. Dari Dian.
Aku segera bergegas, dan
sepanjang jalan Jendral Sudirman yang lengang tanpa gangguan bis kota yang
melaju, aku sempat berpikir tentang Dian, mengapa dia selalu mengirim surat
padaku, mengapa tidak langsung? Dan maksud dia apa? Kenal saja tidak aku
dengannya. Tapi, dengan cara nya dia itu aku sering bertanya-tanya tentangnya.
Walau penampilan dia seperti itu tapi aku sedikit percaya dengan kata-kata dia
di surat, jangan suudzon dulu terhadapnya.
Sesampainya
dirumah ayahku langsung menghampiriku yang masih membenarkan posisi sepeda di
gerasi,
"Cepat mandi ya, nanti Pos nya
keburu tutup"
"Mengapa tidak ayah saja sendiri?"
"Kalau begitu kamu saja yang
kesana sendiri?"
"Baiklah Yah, sebentar"
Aku tidak bisa melawannya. Ayah ingin
selalu aku antar atau aku yang mengantarkan suratnya. Padahal kan di depan ada
tukang becak atau bis kota yang aman tapi ayah tetap ingin aku temani.
Selang 10
menit aku mandi dan sebagainya, ayahku sudah siap aja di depan rumah.
"Kita naik becak ya?" Tawar ayah, aku hanya bisa meng—iya kan. Becak
langganan ibuku ke pasar sudah ada di
depan rumah kami — dekat jalan raya. "Neng Tia meuni geulis",
goda mang becak (Neng Tia cantik sekali), aku hanya bisa tersenyum dan berkata
terima kasih. Aku duduk di sebelah kiri ayahku, udara sore hari sangatlah
sejuk, jalan Jendral Sudirman yang lengang dan jalur lurus dari arah Bandung
sampai menuju perbatasan jawa tengah, tidak seperti sekarang —
banyak gedung dan toko-toko yang berhimpit saling berdekatan atau asap
motor dan mobil yang mengganggu, jaman itu motor masih jarang dan kendaraan
masih memakai becak , delman , sepeda atau bis kota yang ingin cepat sampai
tujuan. Sampai lah aku di Pos. Pamanku yang
pertama menyambut kami, aku seperti biasa duduk di tempat tunggu antri. Aku
melihat ke pigura yang di tempel di tembok yang bercat putih itu, yang diatas
nya bertulisan 'Filateli' , aku merasa tertarik melihatnya jadi aku putuskan
untuk beranjak dari kursi. Disana tertempel berbagai perangko dari tahun 1920 hingga sekarang tahun 1990 dengan
gambar yang berbeda juga bermakna, ada juga materai yang dari luar negeri.
Keasikan mungkin, Ayah ku sudah selesai dengan urusannya. Becak yang tadi masih
menunggu.
***
Hari ini aku
tidak naik sepeda, Ani sakit tidak sekolah. Lengkap sudah. Sepedaku dipakai ibuku
untuk mengantarkan kue ke rumah-rumah, tapi beban ku di kurangi ; tidak membawa
kotak kue. Aku sudah diam di pinggir jalan sejak tadi pukul 6 , biasanya bis
kota datang 15 menit lagi. Nah itu dia.
Aku duduk di
bangku tengah dengan ibu-ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar subuh.
Keadaan bis itu belum ramai, karena masih pagi. Bis memelankan gas nya, sepertinya
ada yang akan turun atau naik. Ternyata si ibu yang
di pinggir aku turun dengan kantong kresek dia yang memenuhi kedua tangannya,
tapi dari pintu depan ada yang naik juga. Awalnya tidak mau tahu siapa yang
naik tapi ketika orang itu mendekat ke bangku ku, aku mengadah dan melihat dia,
ternyata Dian. Mataku melotot kaget. Dia duduk di sampingku. Aku kembali
salah tingkah, aku harus bagaimana.
“ Sepeda mu kemana Tia?” tanya dia dengan bahasa indonesia
yang sedikit terdengar baku. “Sepedaku di pinjam ibuku dan Ani tidak sekolah,
katanya sakit” jelasku. “Oh” jawab dia singkat. “Oiya Dian,
Aku mau bilang...” ucapan terpotong, “Kamu sudah tahu namaku ya” dia menoleh
padaku. Aku hanya tersenyum kecil. “mau bilang apa Tia?” katanya, “Terima
Kasih, sudah memperbaiki sepedaku dan mengantar ku pulang”.
“Oh itu, sudah kewajibanku Tia”
“Eh?”
“Ayo turun Tia, sudah sampai”
Dian turun duluan, dan
aku berjalan di belakangnya. Jadinya kami jalan berduaan dari jalan sampai
gerbang, dia tidak memandangku seperti hal nya Andan kepadaku, jika iya memang
benar dia menyukaiku. Tapi sikapnya seperti biasa saja tidak berlebihan, malah
aku yang memandang dia sekarang. Aku melihat gaya rambut nya aneh tapi
menurutku lucu, seperti berbentuk jamur atau helm dan mata
nya yang sedikit sipit namun tidak terlalu sipit, kulit nya yang sedikit hitam
manis tidak terlalu hitam juga, hidung nya yang mancung tetap – tidak terlalu
mancung dan bibir nya yang tidak tebal tidak tipis. Dia manis juga.
“Tia, nanti kita pasti pulang bersama”
“Eh?” aku selalu saja kaget dengan ucapan dia yang spontan
itu
“ Sampai nanti Tia” dia meninggalkan aku begitu saja, karena
Jodi sudah memanggil dia dengan isyarat tangan dari arah kelas sosial.
Apa
maksudnya, bukan kah aku akan ada tambahan pelajaran hari ini. Begitulah nasib
kelasku, jika dalam mata pelajaran Matematika yang diajarkan Bu Sumiati nilai
nya kurang, kami akan kena pelajaran tambahan. Katanya supaya lebih baik. Tapi
percuma saja jika kami yang harusnya pulang malah diam dikelas dan mengerjakan soal
matematika
dengan penuh kata malas. Mana ani tidak sekolah
hari ini, katanya aku jadi duduk dengan Andan. Hari yang sangat buruk. Aku
harap akan ada pangeran atau siapapun yang menggantikan Andan hari ini.
Siapapun itu!
Aku sudah
duduk di bangku ku sejak pertama kali aku datang, aku malas kemana-mana. Aku
buka buku saja dan pura-pura sibuk. Untungnya Andan belum datang. Ketika aku
asik menyibukan diri dengan buku, aku melihat sosok seseorang di depanku, aku
penasaran lalu aku melihatnya. Ternyata Dian.
“Hari ini aku duduk dengan mu ya?” ucap dia
“Apa? Kamu bolos di kelas dong?”
“Iya sih, tapi tidak apa-apa, hanya sebentar kok”
Belum aku
iya-kan, Tama sudah duduk di sebelahku. Andan yang baru datang jadi duduk di
tempat biasanya ia duduk. Lonceng sudah bergema di setiap sudut, bagian biologi
akan dimulai. “Tidak akan ketahuan memangnya?” tanyaku, “Tidak. Jika tidak
ketahuan he he” ucap dia dengan santai. Ah terima kasih Dian,
hari ini walau sebentar aku tidak duduk dengan Andan. Pak Mukti sudah memasuki kelas,
aku deg-deg-an karena aku takut Dian kena marah atau aku
juga ikut kena marah karena mengijinkan siswa lain apalagi dia murid sosial
masuk dalam kelas. Dengan spontan aku pinjamkan buku ku untuk menutupi
penyamaran dia. Dan ada yang berbeda dengan Pak Mukti hari ini, dia tidak
berkacamata. Padahal dia kan rabun jauh dan bisa disebut mata tua. Tapi dia
masih bisa kok berjalan sendirian, hanya saja tidak begitu jelas.
Lima menit
Pak Mukti berbicara, dan murid satu kelaspun aneh nya tak berani bilang bahwa
ada Dian di dalam kelas. Ketika Pak mukti berjalan kearahku, entah
apa yang menjadi pusat perhatiannya, aku segera menoleh ke arah Dian
dan ternyata dia malah tidur. Sebenarnya jika aku di ijinkan tidur aku juga
ingin, karena cara mengajar Pak Mukti begitu bosan. “Heh, Kalah sare budak teh,
hudang, hudang” Seru Pak Mukti (Heh, malah tidur kamu ya, bangun,bangun) , aku
menghembuskan napas lega karena Pak Mukti hanya membangunkan Dian
saja bukan mengusirnya. Dengan wajah nya yang mengantuk dia sempat tersenyum
padaku dan berkata, “Hebatkan aku? Tidak ketahuan”. Aku hanya tersenyum dan
menggelengkan kepalaku. Dia duduk di sampingku sampai istirahat dan dia pergi
begitu saja dengan Jodi yang sudah menunggunya di depan kelas ku.
***
pelajaran Matematika tambahan. Jam sudah menunjukan pukul
satu siang dan aku baru teringat bahwa bis kota tidak akan ada lewat jalan
sekolah jika lebih dari jam 1. Sial. Aku akan pulang berjalan kaki sore ini.
Mengapa hari ini sungguh menyebalkan? Walaupun bebanku tadi sudah hilang karena
Dian datang menggantikan posisi Ani dari Andan. Semua kelas sudah
pulang terkecuali kelasku yang belum bubar. Bu Sumiati sudah siap saja duduk
untuk mengajar kami. Aku yakin, bukan hanya aku saja yang ingin pulang.
Sesekali aku
melihat ke arah jendela, kota ku semakin indah saja dengan hiasan cahaya
matahri sore hari yang hampir menguning tua dan bayang-bayang pohon beringin
yang begitu mega, langit yang begitu indah juga.
Lamunan ku terganggu oleh seseorang yang mengetuk pintu kelasku, itu Mang Sanjo
yang biasa piket dari sore sampai malam. Katanya ada titipan surat untuk ku,
aku pergi ke depan kelas untuk mengambil nya dari Bu Sumiati, aku tak keburu
menananyakan dari siapa-siapa nya. Lalu aku membaca nya :
Jangan pulang sendirian ya Mutia. Nanti akan
ada yang menemani mu pulang kok. Tenang saja. –Dian-
Kali ini surat nya bertuliskan nama pengirimnya, aku senyum
sendiri. Dan tak lama Bu sumiati mengakhiri pelajarannya. Aku segera keluar
dari kelas karena rasanya sungguh penat. Ketika aku hampir sampai gerbang, ada Dian
dengan sepedanya. Entah sepeda siapa. Aku berjalan menuju Dian
karena aku ingat surat yang dia berikan lewat Mang Sanjo tadi. Aku menepuk
pundaknya, “Dian?” Ucapku hati-hati. Dian menoleh , "Eh? Sudah
pulang. Ayo Tia pulang, takut kesorean" kata dia sambil menaiki sepedanya.
Aku mengernyitkan dahi ku, "Jadi kamu yang akan menemani ku pulang?"
"Iya, ayo duduk saja. Aman kok
Tia" katanya sambil menepuk jok belakang sepeda. Dan aku pun duduk,
sembari membenarkan rok ku juga rambutku yang di tebak angin sepoi-sepoi.
"Jangan memeluk ku ya?"
"Eh?"
"Tapi jika kau mau, boleh"
Alhasil aku memegang baju nya saja,
karena aku takut jatuh. Nanti, penderitaanku bertambah.
"Tia, kamu berat juga ya"
"Oh? Ya sudah aku turun saja
disini" ucapku dengan merasa bersalah
"Eh tidak tidak. Maksudku ;
berarti kamu tidak lupa dengan makan. Jadi kamu berat hehehe"
"Mana mungkin aku lupa dengan
makan"
"Kalau lupa dengan aku?"
"Jika kamu menjauh, aku
lupa"
"Aku tidak akan menjauh,
sepertinya. Aku akan menjadi nasi mu atau kerupuk yang setiap hari kamu makan,
dengan begitu kamu tidak akan lupa kan?"
Aku hanya bisa tersenyum saja dengan
perkataan dia. Dia ternyata pandai berkata ya. Aku
tidak bisa membalasnya.
Tak terasa dia
mengantarku tepat di depan rumahku. "Terima kasih Dian" ucapku
lembut, "Sama-sama Tia".
Entah mengapa setelah dia pergi dari
halaman rumahku aku sepertinya ingin mencegahnya untuk pulang, aku merasa aman
jika dekat dengan nya. Tapi aku takut di kecewakan oleh Dian, aku takut aku
hanya di permainkan oleh nya. Lamunan ku terbaur oleh seruan ibu ku dari dalam
rumah, punggung Dian sudah tidak terlihat dari sini. Aku masuk kedalam rumah
dan menghampiri ibu, "Ada apa bu?"
"Cepat mandi, sudah sore. Terima
kasih sudah meminjamkan sepedamu ya, besok ibu
kembalikan"
"Baik bu, mana ayah?"
"Di ruang kerja dia, oh iya
katanya nanti kamu terima surat dari pos biasa ya, ibu tidak bisa menerima nya, ibu akan pergi pengajian sebentar lagi.
Ayah mu sibuk menerima telepon terus"
Dengan berat hati aku mengatakan iya,
tapi di iringi ikhlas kok karena aku tak mau jadi anak durhaka.
Pukul 16.15
Sore hari. Kota Ciamis sangat damai terasa, angin yang hilir berganti menyapu
rambutku yang aku gerai ini, dan sesekali angin bermain dengan tumpukan daun
yang belum sempat ibu bakar tadi siang, pohon mangga terlihat cantik karena
tersinari oleh matahari, lembayung juga terlihat samar-samar di sore itu. Aku sedang menunggu Pos nya, supaya cepat aku
terima.
Terdengar
suara sepeda dari arah jalan gang rumah ku, aku menebakna pasti Tukang Pos. Aku
berdiri siap menghadapi tukang Pos. Eh? Bukan Tukang Pos biasanya, itu
seperti — Dian. Apa? Dia yang mengantarkan surat? Atau
ada keperluan apa? Tapi di tangan kirinya terselip 2 surat , seperti nya untuk
ku. Dian masih memakai baju seragamnya, Dian berhenti di depan rumahku dan
menyandarkan sepedanya ke pohon mangga. "Dengan rumah Bapak Hamidi dan
Nona Mutia?" Kata dia dengan sopan, aku sedikit aneh dengan bahasa
indonesia dia. "Iya? Saya sendiri Nona Mutia" saya jadi ikut-ikutan berbahasa
seperti dia. "Ini ada surat untuk Bapak Hamidi" dia menyodorkan surat
yang beramplop besar serta ada cap dan perangko nya. Itu benar untuk ayah. "Ini
untuk Nona Mutia" dia menyodorkan surat yang beramplop kecil biasa tanpa
tulisan atau hiasan apapun.
"Kamu yang mengantar ini dari
Pos?"
"Tidaklah. Aku cegah si Tukang
Pos dari depan sana. Aku tahu dia, dia genit orangnya. Dan pasti kamu yang
menerima. Karena aku lihat ibumu pergi ke pengajian ke mesjid agung sana. Aku
tidak mau kamu di genit-in orang lain selain aku"
"Oh
ya? hahaha
Kamu mau mampir dulu?"
"Tidak ah, nanti aku disangka
genit lagi. Baca saja ya surat dariku. Tapi nanti
he he he"
"Baiklah"
Dia pergi begitu saja tanpa menoleh
ke belakang lagi. Aku masuk kerumah saja. "Ayah surat ayah di meja telepon
ya". Aku langsung masuk kamar saja dan membuka surat itu
Sejak sore ini, aku semakin yakin bahwa
suatu hari kita akan bersepeda bersama. Aku juga yakin, suatu hari nanti aku
akan membelai rambutmu yang indah itu. Setiap hari.
Aku salah
tingkah, aku senyum-senyum sendiri. Aku memeluk surat itu dan rasanya ingin aku
teriak. Aku buka laciku, sudah ada lima surat ; termasuk yang ini. Hanya dari
dia suratnya, dari dulu aku tidak mau menerima surat sekarang aku menyukai
surat. Andai dia pengirim surat dari Pos, aku ingin bertemu dengan nya setiap
hari.
Aku jadi
teringat Ani, dia sepertinya tahu tentang Dian. Aku akan menelponya sekalian
menanyakan kabar dia. Semoga saja Ani tahu tentang Dian.
“Assalamualaikum, ada Ani nya?”
“Walaikumsalam, ini saya sendiri. Tia ya ?”
“Eh Ani, apa kabar mu? Besok kamu akan sekolah kan?”
“Iya, aku sudah membaik. Tapi besok aku akan di antar Bapak
ku Tia”
“Oh begitu. Yasudah. Ani, kamu tahu tentang Dian tidak?”
“Maksudmu?”
“ Ya segala nya tentang dia, aku ingin tahu”
“Kamu ini kenapa? Besoklah aku ceritakan pada mu ya”
Aku menutup teleponnya. Aku akan berterima kasih kepada Ani
jika dia tahu segala hal tentang Dian.
***
Hari itu adalah hari Kamis, aku sudah siap seperti biasa
untuk berangkat ke sekolah. Tapi ada yang berbeda di pagi itu, di dapur tidak
ada suara bising yang biasanya ibu sudah diam di dapur sejak tadi subuh. Aku
pikir ibu tadi belum bangun. Aku melihat ke dapur ternyata memang tak ada ibu,
aku melihat ke kamar nya pun kosong. Tapi aku sudah melihat kotak kue yang
harus aku bawa hari ini ke sekolah. Aku tanyakan ayah yang sudah duduk di ruang
tamu meminum kopi dan pisang goreng nya.
“Yah, Ibu kemana?”
“Oh iya Tia, ibu mu pergi ke pasar sejak tadi subuh. Katanya
ibu mu juga pinjam sepeda mu lagi”
Aku ternganga dengan kabar bahwa ibu meminjam sepedaku tanpa
sepengetahuan ku. Ayahku yang belum saja membeli sepeda motor masih santai saja
padahal aku dan ibu berebut sepeda. “Kemana Mang Uca?” tanyaku, Mang uca itu
tukang becak langganan ibu ku, “Di rebut ibu-ibu lain katanya”. Aku pasti telat
jika menunggu ibu pulang, aku terpaksa menunggu bis kota lagi. Aku berpamitan
pada Ayah, hari ini ayah libur katanya tidak masuk pabrik.
Aku sudah di
sebrang jalan, bis kota belum juga datang. Aku memejamkan mataku dan berdo’a
supaya cepat datang, itu yang biasa lakukan saat aku kecil ketika menunggu bis
kota. Ketika aku buka mata, ada Dian di depanku. Aku kaget sekali, aku terdiam
beberapa detik. “Berdo’a supaya aku datang ya? Aku sudah mendengar doa’a mu.
Jadi aku datang.” ucap dia dengan senyuman manis dia. “Kok?” aku tak bisa
berkata apa-apa, sungguh ini rejeki dari langit sepertinya. “Kamu menunggu ku
Tia? Atau Bis kota lewat?” , aku tak tahu harus menjawab apa, “Siapa saja yang
datang duluan”
“Yasudah, kalau begitu naiklah ke sepedaku. Bis kota tidak
akan lewat, karena tumpangan dari arah pasar penuh terus, jadi tidak akan lewat
sesering yang kamu bayangkan” ucap dia.
Aku naik
sepedanya,di bonceng kembali. Aku masih memegang baju nya, karena baju nya saja
tidak dimasukan kedalam, jadi aku gampang memegang bajunya. Dian selalu ada di
saat aku butuh, tapi kenapa bisa pas ya? Pokoknya terima kasih dian sudah
mendengar do’a ku, sebenarnya iya aku berdo’a supaya kamu juga lewat, aku kira
kamu tidak mendengar atau melewat jalan rumahku. Aku hanya bisa diam di
sepanjang jalan. Tapi dia menoleh ke belakang, “Tia? Kamu ada kan di belakang,
diam terus kayak patung hehe” ucap dia menghangatkan suasana, “Hahaha , ada kok
Dian. Kalau aku patung, mana mungkin aku memegang baju mu dengan erat”
“Tadi kamu patung kok, ketika kamu diam berdiri di pinggir
jalan sambil memejamkan mata, lalu aku datang sebagai penyihir baik, aku sihir
kamu menjadi hidup”
“Terima kasih telah menghidupkan aku tuan penyihir baik
hahaha”
“Sama-sama nona cantik hahaha”
“Memang aku cantik?”
“Kata aku sih” ucap dia datar
“Kata aku tidak”
“hahaha beribu kali kamu bilang tidak, aku akan menjawab
terus iya”
Kami
memasuki gerbang dan menuju parkiran sepeda. Aku turun menunggu Dian selesai
memarkirkan sepedanya dengan benar. “Itu Kotak kue yang buat di simpan di
warung Bi Inah ya?” tanya dian sambil menunjuk kotak kue ku. “eh? Iya nih, aku
harus ke warung, mau menemani aku?” tanya aku dan tak sengaja aku melontarkan
pertanyaan itu, aduh aku sudah berani meminta nya seenaknya. “Menemani kamu
hidup juga aku mau Tia” , aku hanya tersipu malu. Lalu kami menuju warung.
“Bi, ini kue
dari ibu saya biasa hehe, maaf kemarin tidak mengirim”
“oh iya
neng, kemarin guru-guru yang jajan disini nanyain. Pak Adi yang sering nanya
kalau kue dari neng gak ada”’
“Modus. Pak
Adi itu ingin Mutia bukan Kue nya. Lain kali jangan di jawab ya Bi hahaha” Seru
Dian tiba-tiba
“Apa sih
Dian kamu itu ada-ada aja hahaha, pulang sekolah saya ambil”
Bi inah meng-iya-kan. Aku dan Dian berpisah disana, karena
kelas dia tinggal berjalan beberapa meter lagi, aku harus kembali ke jalan yang
tadi karena kelasku terlewat.
Aku sedikit
berjalan cepat dari warung Bi Inah, Karena ingin bertemu Ani, sebenarnya
cenderung keingin tahu-an tentang Dian. Hehe. Ani sudah ada duduk di bangku
dengan buku yang ia pinjam 2 hari lalu dari perpustakaan. Aku lihat wajah Ani,
sudah membaik ternyata. “Hai Ani, bagaimana keadaan mu?” Tanyaku sambil duduk
dan membereskan Tasku di atas meja. “Hai Tia, baik. Maaf tidak berangkat bersama,
karena Bapak ku tidak mau aku kecapean” jelas Ani, “Sudah, tidak apa-apa”.
Karena aku sudah tidak sabar mendengar tentang Dia, aku langsung saja tanyakan,
mumpung waktu masih banyak.
“Ani, masih
ingatkan tentang pembicaraan semalam di telepon?”
“Oh si Dian”
ucap Ani dengan suara lantang
“Ssst”
“Oh? Maaf.
Dari mana aku mulai cerita?”
“Terserah”
“Dian itu
murid kelas sosial 3, kamu juga tau kan Tia waktu kamu lihat dia dihukum? Sudah
pasti dia anak yang bandel, iseng sih sebenarnya. Tapi, iseng nya buat jengkel
orang lain, apalagi Pak Sarip, dia jengkel sekali dengan kelakuan Dian. Dia
pernah mengambil minum di ruang guru , katanya haus dan uang dia tidak terbawa”
“hahaha”
“Pernah juga
dia memanjat pohon mangga yang di belakang sana tuh dan ketahuan Pak Sarip yang
sedang berkeliling ke belakang, mengecek bagian belakang sekolah yang biasanya
di pakai merokok, eh ternyata ada Dian yang sedang mengambil buah mangga, yang
pada waktu itu sedang berbuah lebat”
“Oh ya?
Hahaha tapi menurutku itu lucu. Tapi aku kok tidak tahu ya?”
“Kamu sih
jarang main ke blok kelas sosial atau menanyakan kehebohan di sekolah, pernah
aku ajak untuk melihat kejadian ada yang Bakar singkong di belakang sekolah,
kamu tidak mau. Itu pelakunya Dian”
“Benarkah?
Hahaha kenapa katanya kok bakar singkong di sekolah?”
“Katanya
lapar, dan lagi pingin saja bakar singkong”
“Lalu
apalagi?” tanyaku masih belum puas
“Oh iya,
jangan salah dengan Dian, dia itu jagoan voli, dia pernah ikut lomba, yang
waktu itu kita di kumpulkan di lapang upacara untuk berdo’a bersama untuk
mendo’akan tim voli kita, ingat tidak?”
“Iya aku
ingat, tapi aku berdiri di belakang, jadi tidak melihat siapa saja. Kalau
begitu dia bisa di bilang atlet ya, katanya menang kan waktu itu?”
“Iya Tia.
Tapi sifat iseng nya itu yang bikin jengkel. Mau gimana lagi, habis dia atlet
voli sekolah kita”
“hehehe,
terima kasih ya Ani”
“Sama-sama
Tia, kamu suka ya dengan Dian? Atau bagaimana ceritanya?”
“Tidak tahu,
dia bersikap aneh saja denganku. Tapi tidak seperti Andan” ucapku dengan pelan
dan hati-hati. Ani hanya tersenyum. Tak lama lonceng berbunyi dan kelas pun
dimulai.
“Eh eh” aku
menyenggol tangan Ani sebelum guru benar-benar memulai kelasnya
“Dian pernah
duduk bersamaku disini, jadi aku tidak dengan Andan”
“Eh?”
“Ssst” aku
tersenyum dan pandanganku kembali kepada guru
***
To be continue....